Saat ini orang-orang yang memiliki kecerdasan majemuk tak
terelakkan memiliki akses terhadap media. Mereka membaca buku atau koran,
mendengarkan radio, menonton televisi, atau media massa lainnya. Namun, tidak
ada jaminan bahwa menjadi cerdas juga memiliki kecerdasan bermedia (media
literacy).
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa
kemudahan bagi siapa pun memelajari ilmu dan pengetahuan dari media massa.
Media seperti perpustakaan yang koleksi bacaannya dan visualnya dapat dibawa
pulang ke rumah. Tak heran jika kita dapat membangun kecerdasan lewat akses
terhadap media. Misalnya, seorang anak yang belum masuk sekolah di Jakarta
dapat menguasai bahasa Inggris tanpa diketahui orangtuanya! Selidik punya
selidik, sang anak yang istimewa ini sering menonton film Barat di televisi. Ia
cerdas berkat televisi.
Menganggap media sebagai sumber informasi yang bermanfaat
semata-mata dapat menjerumuskan manusia ke kubangan yang mereduksi kualitas
hidup. Tak dapat dimungkiri bahwa banyak produk media tidak sesuai dengan
nilai-nilai sosietal yang hendak dibangun, misalnya ajakan kepada gaya hidup
hedonis, pornografi dan pornoaksi, agresivitas, bullying, politicking, dan
konstruksi lain dengan agenda tersembunyi. Banyak pihak melakukan persuasi
kepada khalayak melalui tayangan yang “cantik” di media, tetapi sebetulnya
punya niat yang kurang baik. Iklan-iklan yang mengundang decak kagum
berserakan, tetapi sebetulnya mengajak kita untuk merokok.
Kecerdasan bermedia
Ketersediaan media yang ada di mana-mana (omnipresent), kuasa media yang berpotensi mengubah sikap, kepercayaan nilai-nilai, dan perilaku-perilaku (omnipotent) berkombinasi dengan kecenderungan masyarakat mengonsumsi bermacam-macam media (omnivorous) menumbuhkan budaya media di dalam masyarakat. Sehingga, interaksi masyarakat dan media tak terelakkan lagi. Sekalipun individu berusaha menolak dan menghindarkan diri dari media, ia tetap tak luput dari bidikan media. Karena, orang-orang kepada siapa ia berinteraksi juga mengonsumsi media. Dengan demikian, kecerdasan bermedia menjadi keniscayaan bagi setiap individu. Kecerdasan bermedia (media literacy) adalah suatu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menghasilkan komunikasi dalam berbagai bentuk melalui media.
Ketersediaan media yang ada di mana-mana (omnipresent), kuasa media yang berpotensi mengubah sikap, kepercayaan nilai-nilai, dan perilaku-perilaku (omnipotent) berkombinasi dengan kecenderungan masyarakat mengonsumsi bermacam-macam media (omnivorous) menumbuhkan budaya media di dalam masyarakat. Sehingga, interaksi masyarakat dan media tak terelakkan lagi. Sekalipun individu berusaha menolak dan menghindarkan diri dari media, ia tetap tak luput dari bidikan media. Karena, orang-orang kepada siapa ia berinteraksi juga mengonsumsi media. Dengan demikian, kecerdasan bermedia menjadi keniscayaan bagi setiap individu. Kecerdasan bermedia (media literacy) adalah suatu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menghasilkan komunikasi dalam berbagai bentuk melalui media.
Dengan kecerdasan bermedia, individu mampu mengelola pesan
di media demi membekali diri menghadapi kenyataan hidup sehari-hari. Pada
dasarnya kita menghadapi dua realitas dalam hidup kita, yakni realitas dalam
dunia nyata dan realitas di media (Potter, Media Literacy, 2001). Dunia nyata
adalah tempat di mana kita melakukan kontak langsung dengan orang-orang lain,
lokasi, dan peristiwa. Sebagian besar dari kita merasa bahwa dunia nyata ini
amat terbatas, sehingga kita tidak dapat mengambil semua pengalaman dan
informasi. Dalam rangka memperoleh pengalaman-pengalaman dan informasi
tersebut, kita melakukan penjelajahan melalui dunia media.
Ironisnya, justru media massa tak pernah memberikan
pendidikan media literacy secara langsung. Sebab, khalayak yang cerdas menagih
kualitas manajemen media dan pengonstruksian pesan yang pada gilirannya
meniscayakan institusi media merogoh kocek lebih dalam. Bila biaya melansir
media menjadi mahal, profit akan menjadi menipis. Tetapi kondisi ini bukan satu-satunya
implikasi. Kesiapan sumberdaya merupakan pokok masalah bagi institusi media
yang baru tumbuh di Indonesia. Dengan begitu, untuk mempersiapkan masyarakat
menghadapi era informasi dan pergaulan antarbangsa diperlukan rekayasa sosial
yang bertujuan membentuk masyarakat yang well-informed tanpa harus menjadi buta
media.***